vg3crK7LGtEQzyLFmtXTbFqrmmLNRkWykkeQhD1x
Bookmark

Teman Baru Sinta

Teman Baru Sinta


"Hari ini kamu berangkat, ya?"

Sinta hanya menggeleng hingga Rani menghela napas panjang.

"Ibu sudah mendaftarkan kamu ke sekolah baru, Nak. Kamu sudah kelas tiga, nggak bagus bolos lama-lama. Bisa ketinggalan pelajaran," ucap Rani. "Sekolahnya dekat, dan itu salah satu sekolah favorit di kota ini. Cuma di sebelah pasar kota, sepuluh menit dari sini. Dekat, kan?"

Sinta hanya terdiam. Tatapannya tidak lepas dari buku yang ia baca sejak tadi pagi. Pada akhirnya, Rani menyerah dan membiarkan anak semata wayangnya berdiam diri di rumah lebih lama.

Kematian suaminya yang tiba-tiba membuat Rani mau tidak mau pulang ke kota asal. Di sini ada banyak kerabatnya, itu berarti ada yang membantu mengawasi Sinta. Sinta juga sangat terpukul oleh kepergian ayahnya. Gadis itu demam tinggi setelah berhari-hari, dan baru mereda pagi tadi. Kata dokter, dia hanya syok dan butuh banyak istirahat. Itu sebabnya Rani tidak mengajak Sinta sewaktu mendaftar di sekolah barunya. Biarlah Sinta berdamai dengan kehilangan yang tiba-tiba. Seperti dirinya, Sinta juga pasti butuh waktu.

Sinta, gadis remaja yang berumur 16 tahun itu hanya melirik ibunya. Jujur saja, ia merasa hidupnya porak poranda dalam sekejap mata. Kematian sang ayah dan kepindahannya yang begitu tiba-tiba membuat Sinta tidak sempat mengelola perasaan kehilangannya dengan baik. Di saat ia membutuhkan dukungan dari teman-teman, ibunya justru mengajaknya pindah kota sehingga ia jauh dari sahabat-sahabatnya. Ia nerasa sangat asing dan sendirian di kota ini.
"Sinta, bisa tolong Ibu?" Rani memanggil dari dapur, namun Sinta bergeming.

"Sinta!" Rani menaikkan suaranya. Menggerutu pelan, Sinta pun bangkit juga. Gadis itu menyambangi Rani dengan ogah-ogahan.

"Kenapa, Bu?" tanya Sinta.

"Tolong belikan sayuran di pasar, ya," pinta Rani. "Ini daftar belanjaannya, dan ini uangnya."

"Ibu..." Sinta merengek. "Aku malas keluar."

"Sudah satu minggu kita tinggal di sini. Masa kamu mau di rumah terus? Ayo keluar sesekali! Sekalian melihat sekolah barumu kan, Nak."

"Aku nggak tertarik," tukas Sinta, yang dijawab senyum oleh ibunya.

"Sudah, sana berangkat mumpung masih pagi! Nanti kamu bisa terlambat karena Ibu terlambat masak!"

"Aku nggak mau masuk sekolah," gerutu Sinta.

"Sudah tiga hari bolos, Nak. Kamu juga sudah kelas tiga," ucap Rani yang masih berusaha sabar.

"Nggak mau. Masih malas!" gerutu Sinta, yang langsung pergi sehingga tidak perlu mendengar omelan ibunya.

Sinta keluar sambil merapatkan jaket di tubuhnya. Pagi hari di kota ini dingin, berbeda dengan kota sebelumnya, panas. Mau tidak mau, Sinta penasaran juga dengan sekolah barunya.
"Hai!"

Sinta terkejut saat seseorang menepuk bahunya. Seorang gadis yang seumuran dengan Sinta, rupanya. Ia mengenakan seragam SMA dengan tas ransel di punggung. Rambutnya yang panjang dikucir kuda. Ia nyengir ramah hingga Sinta bisa melihat gigi gingsulnya.

"Aku belum pernah lihat kamu di sini," ucapnya. "Warga baru?"

Sinta mengangguk canggung. Ia berusaha menjauh, namun gadis tadi justru mengimbangi langkahnya.

"Sekolah di mana?" tanyanya lagi.

"SMA Anyelir Satu," jawab Sinta risih. Ia bukan orang yang mudah akrab dengan orang lain.

"Anyelir Satu?" Gadis itu menunjukkan bedge-nya. "Aku juga sekolah di sana! Kita bisa berangkat bersama!"

"Aku nggak berangkat hari ini," ucap Sinta. "Aku mau ke pasar kota."

"Itu jelas. Mana mungkin kamu ke sekolah cuma pakai jaket dan sandal jepit? Nggak apa-apa. Kita bisa jalan ke sana bersama. Oh iya, kamu bisa panggil aku Agnes. Kamu kelas berapa?"

“Tiga.” Sinta meliriknya. "Sekolahnya beneran dekat, ya?"

Gadis itu mengangguk. "Jadi, kenapa pindah kemari?"

"Karena sesuatu," ucap Sinta tidak nyaman.
Agnes mengerucutkan bibir. "Kamu anak olimpiade, ya?"

"Kok tahu?" tanya Sinta terkejut.

"Karena anak-anak olimpiade si sekolahku pendiam dan dingin, kayak kamu ini," ucapnya hingga Sinta mendengus. "Kamu olimpiade apa?"

"Matematika."

"Wah!" Agnes menangkupkan tangan di pipi. "Kamu harus ketemu Heru! Dia salah satu perwakilan olimpiade matematika di sekolah kami. Orangnya juga pendiam dan dingin macam kamu. Tapi dia murid jempolan, sih. Nggak main-main, dia kemarin lolos seleksi provinsi!"

"Iya?" Sinta mengerutkan kening. "Kalau begitu harusnya kita ketemu waktu seleksi nasional. Tapi aku nggak ingat ada perwakilan dari Anyelir Satu."

Agnes mengangkat bahu. "Mungkin kamu kurang jeli. Sekolah kami cukup berprestasi, lhoh. Selain si bidang akademi, kami juga terkenal dengan prestasi olahraganya. Tim basket dan voli kami sering juara. Itu sekolahnya!"

Sinta menunjuk sebuah bangunan sekolah. Sekolah itu tersembunyi di balik gerbang dan tembok yang tinggi. Gerbangnya tampak kokoh dan megah.

"Yuk! Aku lihatin dalamnya!" Tiba-tiba Agnes menarik tangan Sinta. Ia mengajak Sinta masuk menyusuri gerbang. "Tadaaa!"

Sinta terpana. Sekolah itu jauh lebih megah daripada yang terlihat. Taman luas menyambutnya. Di tengah taman itu, terdapat kolam air mancur yang jernih. Satpam menyapa mereka dengan ramah, dan para siswa lalu lalang dengan ramai. Mereka tampak bersih dan menawan.
"Gimana? Besok masuk, kan? Aku jemput, deh," ucap Agnes.

Sinta mengangguk antusias. Agnes pamit masuk karena bel sekolah berbunyi. Tampak guru-guru mulai berjalan di selasar, sementara siswa yang masih di luar berlari dengan tergesa. Satpam pun menutup gerbang, dan Sinta melanjutkan perjalanannya ke pasar dengan hati gembira. Ternyata sekolah barunya sangat bagus. Dan dia juga mempunyai teman baru dan ramah bernama Agnes. Sejujurnya, dia pun penasaran dengan Heru. Akan menyenangkan jika nanti mereka bisa diskusi mendalam tentang matematika.

Lantai dua sekolah itu sedikit terlihat dari jalan saat Sinta pulang dari pasar. Para murid duduk tenang mendengarkan guru yang sedang mengajar.

"Ibu! Besok aku mau masuk sekolah!" ucap Sinta saat ia masuk rumah.

Rani tersenyum. "Pasti sudah lihat sekolah barunya. Bagus, kan?"

Sinta mengangguk bersemangat. "Tadi dapat teman baru juga. Kami bersama jalan ke sekolahnya."

"Bagus sekali. Kebetulan ibu baru saja menyetrika seragam barumu. Lihat!" Rani menunjukkan seragam baru Sinta.

"Ini dipakai hari apa, Bu?" tanya Sinta antusias. Bahkan seragam berwarna krem itupun terlihat elegan.

"Jumat," ucap Rani. "Hari ini seharusnya kamu memakai ini."

Sinta mengerutkan kening. Seragamnya berbeda dengan seragam Agnes. Seragam Agnes berwarna biru navy.
"Kok temanku tadi pakai seragam biru navy, ya? Padahal sama-sama kelas tiga. Apa ada seragam baru?" tanya Sinta bingung.

Mendengarnya, senyum Rani menghilang. "Biru navy? Siapa nama temanmu itu?"

"Agnes. Orangnya cantik. Rambutnya panjang dan dia punya gingsul," jawab Sinta.

Rani langsung merinding. Sebab, dia dulu mempunyai sahabat bernama Agnes. Berambut panjang, bergigi gingsul, dan mereka satu kelas. Namun Agnes meninggal saat tragedi di sekolahnya dulu.

"Sinta." Rani memegang bahu Sinta. "Di mana sekolah yang ditunjukkan Agnes?"

"Di dekat pasar kan, kata Ibu," jawab Sinta bingung.

"Antar Ibu ke sana, ya," ucap Rani gelisah. "Ibu...umm...ada urusan dengan kepala sekolah terkait kepindahanmu."

Sinta tentu menyetujui. Ia suka sekolahnya. Gadis itu mengantarkan Rani ke gedung sekolah yang ditunjukkan Agnes.

"Ini Bu," seru Sinta saat mereka sampai di gerbang.

"Apa yang kamu lihat, Nak?" tanya Rani.

Sinta mengerutkan kening. "Ng, muridnya banyak. Lihat Bu, ada yang sedang main basket. Tapi krbanyakan masih di kelas, sih. Tuh, lihat di lantai dua. Kan ini masih jam pelajaran."

Sinta menyebutkan segala aktivitas yang ada di sekolah itu. Termasuk penjaga kebun yang sedang menyapu taman, juga datpam yang tampak lalu lalang.
"Sinta, coba sini sebentar." Dengan suara gemetar, Rani menutup mata Sinta. Ia merapalkan sebuah doa.

"Apa sih Bu?" Sinta meronta kecil.

"Coba kamu lihat lagi. Ada apa di sekolah itu?" Rani kembali bertanya.
Saat mata Sinta membuka, ia menjerit kecil.

Bangunan megah yang tadi ada di hadapannya kini sirna. Hanya terlihat gedung-gedung tua penuh coretan yang tampak menyeramkan. Beberapa ruangnya roboh, dan puing-puing berserakan di sana. Tidak ada satpam, penjaga kebun, atau siswa. Tidak ada siapapun.

"Ini bangunan Anyelir Satu yang lama, Sinta. Sekolah kamu letaknya setelah pasar, bukan di sini." Rani tercekat. "Dulu waktu ibu masih sekolah di sini, ada gempa besar. Gempa itu terjadi saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Banyak siswa dan guru yang tidak sempat menyelamatkan diri. Mereka tertimpa bangunan. Ibu adalah sedikit siswa yang selamat. Dan Agnes, sahabat Ibu, dia tidak selamat."

Sinta menekap mulutnya. "Agnes--"

"Dia persis seperti yang kamu ceritakan. Mungkin, dia ingin berkenalan dengan anakku."

"Kalau Heru?" tanya Sinta takut-takut. Rani terkejut.

"Dia teman satu kelas Ibu. Anaknya pintar dan pendiam. Dia seperti kamu, jagoan olimpiade matematika."

"Pernah menjuarai olimpiade provinsi ya, Bu?"

"Kamu ketemu Heru?" tanya Rani.

Sinta menggeleng. "Agnes yang cerita."

Rani mrnangis kecil dan membelai kepala Sinta. "Sudah ya, Sayang. Lupakan apa yang kamu lihat hari ini, ya. Sekolahmu yang baru jauh lebih bagus."

Sinta hanya mengangguk. Ditatapnya bangunan-bangunan tua itu. Satu hal yang ia yakini, meskipun bangunan itu tampak terbengkalai, mereka masih beraktivitas di dalam sana.

===END===
Posting Komentar

Posting Komentar