vg3crK7LGtEQzyLFmtXTbFqrmmLNRkWykkeQhD1x
Bookmark

Mesin Waktu Rahasia

Mesin Waktu Rahasia


"Keriput."

Sinta mengulurkan tangannya kepada Cakra.

"Padahal masih dua enam." Wanita yang sudah memakai piyama itu mendesah kecil dan duduk di samping suaminya. Ia menerawang ke langit malam. "Bumi udah tua, ya? Makin panas, makin banyak polusi, udara udah nggak sehat. Pantas umur segini udah keriputan."

"Mana keriputnya?" Cakra meraih tangan Sinta dan mengamatinya. "Nggak ada keriput. Kenceng semua gini."

"Aku lebih suka kalau punya badan kayak kamu. Ckckck, kalau kami seawet muda itu, serum-serum anti penuaan nggak bakal laku." Sinta memekik. "Astaga! Berarti aku juga harus pakai serum anti tua! Bisa-bisa kamu tetap segagah ini waktu umurku delapan puluh tahun nanti! Terus--"

Cakra membungkam bibir Sinta dengan kecupan. "Ceriwis sekali. Tua nanti kamu tetap cantik, aku yakin."

"Terima kasih lhoh penghiburannya, Pak Cakra," ucap Sinta geli.

Wanita itu lantas kembali bersandar di pundak Cakra sambil menerawang pada kelamnya hutan. Beberapa kali ia melihat penduduk sana lewat sekelebat, merendah takzim pada Cakra sebelum hilang di kegelapan.

Sinta sengaja membangun rumah di pinggir hutan, dengan dinding kaca sebanyak mungkin sehingga mereka bisa menikmati pemandangan sepuasnya. Maling? Hmph! Yang ada, Cakra akan memberi mereka pelajaran sampai mereka terkencing-kencing.

"Kalau usiamu empat ribu tahun, berarti kamu tahu banyak kejadian bersejarah, Mas?"

"Bisa dibilang begitu," ucapnya Cakra ringan. "Apa yang mau kamu tahu?"

"Telur dulu atau ayam dulu," jawab Sinta, yang dibalas Cakra dengan dengusan kecil.

Sita terkekeh. "Besok aku ke rumah Mama, ya? Kangen."

"Besok aku ada keperluan. Pagi saja aku antar," ucap Cakra.

"Nggak bisa. Paginya aku ada meeting. Kali ini aku bakal hati-hati, janji!"

Cakra menyipit ke arahnya. "Aku antar, Sinta."

"Mas." Sinta berdecak. "Ayolah. Udah satu tahun aku keluar masuk hutan, nggak bakal tersesat lagi kayak dulu kok. Udah hapal ini. Boleh ya?"

Wajah Cakra mengeras. "Kamu belum tahu apapun tentang hutan itu. Aku nggak bisa membiarkan kamu ke sana sendiri."

Sinta cemberut. "Iya, deh. Nunggu kamu aja. Meeting penting besok."

Namun sore itu, Cakra tidak kunjung muncul meskipun Sinta sudah menunggu selama satu jam.

Akhirnya Sinta memutuskan pergi sendiri dengan sedikit jengkel. Pasti suaminya terlalu asik bersama Rajendra, patih Diwangka. Wanita itu memasuki hutan dengan percaya diri, berusaha mengingat jalur yang selalu Cakra lewati setiap mereka pergi ke kediaman keluarga Diwangka.
Hingga satu jam kemudian, Sinta mulai gelisah karena tidak kunjung sampai. Ini tidak benar. Seharusnya rumah Cakra tidak sejauh ini, pun tidak seseram ini. Dia bahkan tidak bertemu satu orang pun di sana, tidak juga mereka. Jalur ini terasa asing, lengang dan pekat.

Sepertinya dia tersesat. Sinta langsung meneguk ludah saat membayangkan reaksi Cakra. Suaminya itu pasti akan berubah seram saat tahu Sinta tersesat di hutan dengan sukarela. Dia harus cepat-cepat kembali.

"Aduh!"

Karena tergesa, Sinta tersandung sesuatu hingga tersungkur. Sebuah tangga batu, rupanya. Tangga batu itu tertutupi tebalnya dedaunan kering. Tampak kuno, berlumut dan nyaris tidak terlihat. Penasaran, Sinta meluaskan pandangan. Lalu sadar jika ia tengah berdiri di sebuah tanah lapang yang luas tanpa pepohonan satu pun, kecuali sepasang pohon dyang berada di tengah.

Sinta belum pernah melihat pohon yang seperti itu. Kedua pohon itu terlihat tua, namun ramping. Batangnya seolah terbuat dari batang pohon yang berpilin. Ujung kedua pohon itu bersatu. Akar dan dedaunan berwarna ungu menjulur dari selanya, teruntai turun seperti tirai. Angin menerpa, mengayunkan tirai daun itu dengan pelan.

Penasaran, Sinta mendekat. Ia memegang pohon itu, terasa sangat kokoh. Disibaknya tirai daun itu dan melangkah melewatinya. Murni karena keingintahuan.

Sinta memejamkan mata kala angin kencang menerpanya. Saat ia kembali membuka mata, sebuah tombak telah mengarah di dadanya.

"Siapa kamu?"
Suara dingin itu berasal dari seorang prajurit yang memegang tombak tadi. Ia bertelanjang dada, namun memakai kain yang dililitkan hingga lutut. Ikat kepalanya tampak lusuh, dan di pinggang, terdapat keris dan pedang.

Sinta masih di tengah lapangan luas itu. Hanya saja, suasana kini tidak lagi lengang. Pohon berpilin dengan daun bagai tirai telah menghilang. Di belakang prajurit itu, terdapat banyak pasukan. Beberapa kuda terikat di satu sisi, sementara di sisi lain prajurit tengah mengasah senjata tajam. Semuanya berpakaian sama seperti si prajurit yang memegang tombak. Mereka semua menatap Sinta dengan tatapan yang sama: waspada.

Jawab! Siapa kamu?" Si prajurit membentaknya hingga jantung Sinta terserak tidak keruan. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia masih sangat kesulitan memahami situasi. Di depannya ini, jelaslah manusia.

Ujung tombak yang menekan kulitnya membuat Sinta memekik kecil.

"Kau mata-mata Ken Arok?" bisik si pemegang tombak dengan dingin.

"Wisang, ada pasukan mendekat!" Seseorang mendekati si pemegang tombak tadi. Ia menatap Sinta dengan benci. "Bunuh dia! Dia pasti mata-mata."

"Bukan!" Sinta mencicit. "Saya bukan mata-mata!"

Kalau begitu kau pasti penyihir," ucap Wisang. "Pakaianmu aneh sekali. Siapa lagi wanita berpakaian aneh yang jalan-jalan di hutan selain penyihir?"

"Bisa jadi dia penyihir peliharaan Ken Arok," ucap prajurit yang lain.

Wisang menatapnya dengan benci. "Ikat dia, dan matikan api unggunnya!"
Kejadiannya begitu cepat. Dua orang mengikat tangan dan kaki Sinta dengan rotan, lalu menyumpal mulutnya dengan kain kumal. Gelap menyergap kala api padam. Penerangan satu,satunya hanyalah sinar bulan yang berhasil melewati sela dedaunan.

Sinta menatap nyalang, namun tidak ada yang bisa Sinta lihat kecuali gerak samar para prajurit di bawah sinar bulan.

Ken Arok? Prajurit? Penyihir? Sebenarnya apa yang terjadi?

Ketakutan luar biasa mulai menyusup di kalbu Sinta, mencengkram jantungnya hingga ia merasa begitu panik.

"Kamu tidak tahu apapun tentang hutan itu, Sinta!"

Suara Cakra terngiang kembali. Sinta mulai menangis. Ia takut ia tidak bisa bertemu Cakra lagi. Ia takut ia tersesat dalam keadaan yang bahkan tidak ia mengerti.

Suara tapak kuda perlahan mendekat. Tidak hanya satu, namun banyak. Dari kejauhan pula, Sinta melihat berpasang mata hewan yang berpendar dalam kegelapan. Rombongan baru itu mendekat, membawa sinar redup nan magis yang tidak bisa Sinta jelaskan. Hanya satu yang Sinta tahu, mereka bukab manusia.

Seekor kuda keluar dari kegelapan, membawa seseorang yang duduk di punggungnya. Rambutnya panjang, dan ia bertelanjang dada. Namun pakaian dan perhiasan yang melekat di tubuhnya, jelas menunjukkan bahwa ia bukan dari rakyat biasa.

Dan Sinta ternganga. Sebab pria itu, adalah Cakra.

Cakra tampak gagah dan berkuasa di atas kuda. Ia mengamati Wisang dan yang lainnya tanpa senyum.
"Pangeran, sepertinya mereka adalah pelarian dari kerajaan Tumapel," ucap Rajendra yang mengikuti Cakra.

"D-Diwangka!" Pekik pelan prajurit yang sedang menjaga Sinta. "Merek benar-benar nyata!"

"Ada apa kalian masuk ke hutanku?" Cakra berbicara sambil mengelus kepala pedang yang terselip di pinggangnya.

"Ampun!" Wisang tersungkur dan bersujud. Suaranya gemetar. Seluruh prajurit pun mengikutinya. "Kami hanya melarikan diri dari pembantaian, Tuan! Kami hanya ingin menyelamatkan diri! Keluarga kami dihabisi, harta kami dirampas! Kami hanya ingin menemukan tempat damai dan memulai semuanya dari awal, jauh dari perang!"

"Sekiranya Tuan Diwangka memberikan izin kepada kami untuk beristirahat di hutannya, kami akan sangat berterima kasih. Kami berjanji tidak akan berbuat kerusakan!" ucap prajurit yang lain.

Cakra mengamati mereka semua, lalu berkata, "Kalian kuizinkan berteduh di hutanku. Tapi jika ada setetes saja darah binatang yang jatuh, kepala kalian akan menjadi penggantinya."

Pundak Wisang bergetar, dan ia menunduk semakin dalam.

"Ada banyak buah yang bisa kalian makan. Cari dan hiburlah diri kalian. Jangan melukai hewan-hewanku," ucap Cakra.

Ia berbalik. Namun saat itu, ia melihat Sinta, kemudian senyum terbit di ujung bibirnya.
"Dan lepaskan wanita itu. Dia bukan penyihir," ucapnya sebelum menghilang di kegelapan.

Perlahan, suara tapak kuda menghilang. Wisang dan yang lain mulai berdiri meskipun pundak mereka masih gemetar. Mereka bergegas melepaskan Sinta.

"Pergilah dari sini. Siapapun kau, Diwangka telah melindungimu," ucap Wisang. "Jangan lari ke Barat! Di sana ada prajurit Ken Arok!"

Sinta segera berlari ke selatan. Tidak ia perdulikan rambut dan pakaian yang robek karena tersangkut ranting. Ia ingin mengejar Cakra. Namun rombongan berkuda itu tidak juga ia temukan.

Sinta tersungkur di tanah saat ia kelelahan. Gadis itu menangis hebat. Menyesal, ia menyesal telah mrlanggar peringatan Cakra. Sekarang, bagaimana caranya kembali?

"Menyesal, istriku?"

Sinta menoleh, lalu terkejut saat melihat Cakra berdiri sambip mengulurkan tangan. Cakra yang ini berambut pendek. Ia jelas Cakra yang Sinta kenal.

"Mas!" Sinta segera memeluknya sambil menangis. "Maaf! Maaf!"

"Dimaafkan. Lain kali jangan pergi ke hutan ini sendirian," ucapnya.

Sinta mengangguk. Cakra menuntunnya ke sebuah bukit, di sana terdapat dua pohon berpilin, persis seperti yang Sinta lihat sebelumnya. Mereka melewatinya, dan ia sudah sampai di tempat awal.

"Apa itu tadi?" tanya Sinta gemetar. "Apa, Mas?"
"Ini portal waktu." Cakra membenahi rambut Sinta. "Salah satu dari banyak rahasia yang ada di hutan ini. Dan secara tidak sengaja, kamu tadi pergi ke zaman dimana Singosari baru saja berdiri, Sinta. Untung saja aku segera menyadarinya. Janji lain waktu nggak ke hutan sendirian?"

Sinta mengangguk cepat, dan Cakra tersenyum lega meskipun kekhawatiran tampak nyata di mata.

"Mesin waktu itu cuma satu dari banyak rahasia yang berbahaya. Kamu bisa celaka," ujarnya.

Sinta mengangguk lagi. Cakra tidak perlu khawatir, Sinta akan sangat patuh pada Cakra kali ini.

===END===
Posting Komentar

Posting Komentar