vg3crK7LGtEQzyLFmtXTbFqrmmLNRkWykkeQhD1x
Bookmark

Keluarga Penguasa Hutan Diwangka

Keluarga Penguasa Hutan Diwangka


"Mas, tasku di mana?"

"Di rak yang biasa?"

"Nggak ada!" Sinta menjawab dengan panik.

Tas yang mana, sih?"

"Yang dikasih Mama. Yang dari rotan itu lho, Mas," jawab Sinta tak sabar.

Catra pun ikut mencari. Pria itu membuka semua almari di walk-in closet mereka, mengamati dan menyela satu persatu barang yang didominasi milik istrinya. Namun tas rotan yang dimaksud tidak kunjung ketemu.

"Pakai yang lain aja?" Cakra meraih sebuah tas lain. "Ini bagus. Cocok dengan gaunmu."

"Nggak mau." Sinta cemberut. "Lebih cocok pakai tas yang dari Mama. Nanti temanya garden party, Mas."

Cakra Diwangka menatap istrinya dengan gemas, namun Sinta hanya tambah cemberut dan lanjut mengeluarkan seluruh koleksi tas yang ia punya. Acara ini adalah acara keluarga besar suaminya. Ia sudah susah payah berdandan sejak sore tadi. Ia bahkan memesan gaun khusus untuk acara ini: sebuah midi dress bermotif floral dengan hiasan renda yang cantik sekali. Ia juga sudah menyiapkan japit rambut khusus untuk menata rambutnya. Japit rambut berbentuk untaian mawar itu tertata anggun di rambutnya yang disanggul dengan gaya modern, sedikit messy namun tetap cantik dengan beberapa anak rambut dibiarkan terurai.

Jadi, mana mungkin ia menyia-nyiakan penampilan sempurnanya hanya karena tas rotan itu tidak ketemu?

"Kok malah ketawa sih, Mas?" sergah Sinta sewot kala suaminya ternyata hanya bersedekap sambil nyengir lebar.

"Nggak apa-apa. Cuma bahagia aja kalau istriku secantik ini," ucap pria gagah itu.
Sinta hanya memutar bola mata dan kembali mencari.

"Nggak ada!" Sinta mengerang putus asa. "Aduh, terakhir itu aku pakai ke mana sih, Mas?"

"Ke mall, kan?" sahut Catra. "Yakin kamu taruh di sini? Nggak kamu taruh di tempat lain? Ruang kerja, mungkin?"

Sinta bergegas keluar, yang diikuti Catra dengan santai. Yah, tanpa tas rotan itu, istrinya tetap cantik menawan. Lagipula, dia bisa memberikan banyak tas serupa jika Sinta mengizinkan. Masalahnya, istrinya memang sangat menyukai pemberian mamanya.

"Nggak ada!" Sinta mengintari ruang kerjanya dengan putus asa. "Nggak ad--astaga! Kenapa di sini?"

Wanita itu menarik lepas tas rotannya di antara jajaran buku. Catra hanya mendesah pasrah. Wanita cantik akan selalu punya satu kekurangan. Pada kasus Sinta, kekurangan itu adalah pelupa. Hah, semoga istrinya tidak pernah melupakannya.

"Kenapa bisa di sini, sih?" tanya Sinta gemas. "Tapi untung ketemu. Berangkat yuk, Mas!"

Cakra mengangkat alis sambil merentangkan tangan. "Aku udah siap dari tadi. Tapi istriku yang cantik menelantarkanku hanya karena sebuah tas rotan."

Sinta tertawa. "Bukannya gitu, Mas. Tapi ini kan, pemberian Mama. Mama pasti bahagia kalau aku pakai ini di pesta nanti."

Catra hanya mengangguk saja. Digenggamnya tangan Sinta dengan erat saat keduanya telah memasuki malam yang pekat. Seperti biasa, mereka selalu berjalan kaki menuju rumah keluarga besar Diwangka.

Pukul sebelas malam begini, jalanan memang sepi. Hanya tersisa lampu jalan yang menyorot dengan muram. Beberapa kali angin melewati mereka, membawa serta dedaunan kering yang menambah kesan hening di malam itu. Dari sini, pohon-pohon tinggi berayun pelan, seolah menyambut kedatangan suami istri itu. Sinta memang sengaja membeli rumah di dekat keluarga sang suami, satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah ibunya meninggal lima tahun lalu.
Rumah keluarga Diwangka telah terlihat. Rumah megah bergaya jawa kuno itu dibentengi oleh dinding batu kokoh. Di pelatarannya yang luas, terdapat pondok-pondok kecil untuk bersantai.

"Tante!" seru anak-anak kecil yang rupanya telah hadir lebih dulu. Seperti Catra, rupa mereka sangat rupawan. Sebenarnya, keluarga Diwangka memang berparas rupawan dengan aura kebangsawanan yang jelas.

Seorang wanita keluar dengan antusias. Di usianya, ia tampak masih muda. Pakaiannya terbuat dari sutra, dan rambutnya disanggul anggun. Perhiasan bergemerincing di kedua tangannya. Ia adalah ibu Cakra, Bhanuwati.

"Cantik sekali Nduk," ucapnya bangga. "Ayo masuk! Acaranya sudah mau dimulai."

"Ini...nggak apa-apa aku ikut, Ma?" tanya Sinta gugup.

"Memangnya kenapa?" Catra memegang punggungnya, menenangkan. "Kamu istriku, bagian dari keluarga Diwangka. Sudah sepatutnya kamu ikut acara besar keluarga kami."

"Benar sekali," sahut Bhanuwati ceria. "Jadi, jangan khawatir lagi. Ayo ikut!"

Pada akhirnya, Sinta menepikan kegugupannya. Ia ikut menghadiri acara besar malam itu, bersama keluarga Diwangka yang lain.

“Papa nggak datang, Mas?” bisik Sinta pada Cakra.

“Masih ketemu sama patih. Nanti nyusul,” ucap Cakra. Sinta hanya mengangguk saja. Jaya Diwangka, ayah Cakra yang merupakan kepala keluarga Diwangka itu memanglah sangat sibuk.

"Sinta, kita harus pulang. Kamu bisa terlambat kerja."
Bisikan lembut Cakra membangunkan Sinta yang sedang tidur nyaman di kamar mereka--yah, sebenarnya dulu kamar Cakra.

"Jam berapa ini?" Sinta bangun dengan panik, lantas meraih ponselnya. "Oh, masih pagi. Kamu itu Mas, sukanya bikin kaget."

Cakra tertawa. "Siapa tahu mau mandi di sendang, atau jalan-jalan dulu lihat pohon."

"Aku udah hapal semua pohon di sini," tukas Sinta. "Pulang aja, yuk?"

Dengan sopan, Sinta berpamitan dengan orangtua dan keluarga besar Diwangka. Jujur saja, Sinta selalu gugup jika bertemu dengan keluarga besar Diwangka. Kecuali orangtua Cakra, para sesepuh lain menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Namun Cakra selalu menggenggam tangannya, menguatkannya. Kata Cakra, mereka bukannya tidak menyukai Sinta. Mereka hanya belum terbiasa.

"Jalan-jalan di sini sepagi ini memang menyenangkan," dendang Sinta.

"Kamu bisa begini setiap hari kalau kamu mau," ucap Cakra yang berlari-lari kecil di samping Sinta. Jogging, katanya.

Embun masih tebal di antara pepohonan, mencumbu ringan kulit Sinta sehingga dengan titik air yang sejuk. Tidak ada angin, hanya terdengar samar air mengalir dari mata air di belakang sana.

"Lho, Bu Sinta, pagi-pagi udah keluar hutan aja."

Pak Hari, pria paruh baya yang berprofesi sebagai petani itu memicingkan mata.

"Biasalah Pak, kerjaan," ucap Sinta ringan, sementara Cakra masih lari-lari di tempat.

"Sepagi ini?" tanyanya curiga. "Sendirian, Bu?"

"Iya, sendirian," jawab Sinta sambil tersenyun. "Kerjaan memang kadang nggak kenal waktu kan, Pak Hari? Mari Pak, saya duluan."

Pak Hari mempersilakan. Dari sudut matanya, Sinta bisa melihat pria paruh baya itu masih menatapnya meskipun ia sudah berjalan agak jauh.
Cakra menggenggam tangan Sinta, mengirimkan kedamaian yang membuat Sinta menghela napas panjang. Sinta tersenyum berterima kasih, yang dibalas Cakra dengan mengusap lembut kepala istrinya.

"Banyak rumor di sini," ucap Cakra pelan.

"Persetan dengan rumor-rumor itu. I have you, that’s enough," ucap Sinta. Baginya, semua yang ia lihat adalah nyata. Pun Catra. Ia dan seluruh keberadaannya adalah nyata bagi Sinta. "Ada gunanya juga ambil jurusan kehutanan. Bisa jadi alibi."

"Oh, itu justru alasan kita bisa bertemu," gumam Cakra. Lelaki itu menyipit pada para petani yang saling berbisik saat melihat istrinya. "Boleh aku kasih pelajaran?"

"Jangan macam-macam!" tukas Sinta.

Cakra mendengus keras, yang membuat Sinta terkikik kecil. Ia sudah terbiasa mendapati tatapan aneh dan curiga seperti itu. Tentu saja mereka tidak akan pernah bisa melihat lawan bicara Sinta. Bahkan jika Sinta sedang bepergian bersama keluarga Diwangka pun, orang lain hanya melihatnya sebagai gadis muda menyedihkan yang bicara seorang diri.

Sejak ibu Sinta meninggal, tidak ada yang bisa mengendalikan mata batin Sinta. Sinta belajar berdamai dengan keadaannya, hingga ia bertemu Cakra yang membantunya keluar dari hutan yang baru saja mereka tinggalkan.

Hutan itu hutan keramat, katanya. Para penduduk setempat berkata jika di dalam sana terdapat sebuah kerajaan tak kasat mata yang menguasai hutan dan isinya sejak zaman dahulu.

Mereka benar. Nama keluarga penguasa hutan itu, adalah Diwangka.
Posting Komentar

Posting Komentar