vg3crK7LGtEQzyLFmtXTbFqrmmLNRkWykkeQhD1x
Bookmark

Kutukan yang Menyenangkan

Kutukan yang Menyenangkan


"Suka banget lihat drama korea."

Aku mengabaikan celetukan Mas Bagas.

"Kamu nggak tertarik yang lain? Udah jelas akhirnya mereka bakal bersama, kenapa tetap ditonton juga? Mending nonton podcast atau siaran ulang pertandingan olimpiade tadi malam, Sin. Yang begini ini--"

"Mas, diem, ck!"

Mas Bagas yang tiduran di pangkuanku itu mencibir, namun tetap lanjut menonton.

"Sejak kapan cowok pakai make up dibilang ganteng? Lihat, wajahnya putih banget. Mulus-mulus pula. Tipe cowok rajin perawatan."

Aku memutar bola mata, mungkin sudah kesekian ribu kalinya. Salah memang, mempersilahkan cowok cerewet seperti Mas Bagas menemaniku nonton drama korea.

"Kamu mandi nggak pakai sabun mandi?" tanyaku. "Nggak pakai sabun wajah? Terus, kumis tipismu itu nggak dicukur? Seingatku juga kamu pernah ke dokter buat ngobatin jerawat."

"Ya kan beda Sin." Mas Bagas mengelak. "Itu karena jerawatnya sudah mengganggu dan sakit banget."

"Bedanya di mana, Mas?" tanyaku gemas. "Kan tujuannya merawat diri biar rapi, bersih dan menarik. Kamu lhoh, suka pakai gel rambut. Mereka pakai pelembab bibir juga biar bibirnya nggak kering."

Mas Bagas mendengkus, "Tapi aku nggak pakai make up."

"Kamu pakai jam tangan rolex, kaus Hermes, dan parfum Channel. Kalian sama-sama ingin menarik dengan cara yang berbeda."
Mas Bagas mendengkus lagi, yang membuatku tertawa.

"Mereka butuh itu karena profesi mereka adalah intertainer. Visual itu penting, bahkan mereka yang main di film action. Nggak perlulah luar negeri. Aktor-aktor dalam negeri aja pasti pakai make up kalau mau syuting," ucapku. "Kalian ini sama, lhoh. Sama-sama cowok yang kepingin berpenampilan bersih, rapi dan menarik. Caramu begini, caranya begitu. Case closed."

Aku mengambil segenggam makaroni pedas dari mangkuk di sampingku, menjejalkannya ke dalam mulut selagi kedua mataku melotot ke layar. "Ini kemapa ceritanya udah sampai sini? Ih Mas Bagas, kan aku jadi ketinggalan."

"Yang begitu, ganteng menurutmu?"

Aku mengangguk tanpa menjawab. Baru konsentrasi, ngomong-ngomong.

"Sinta sayang, di sini ada yangnlebih ganteng. Nggak kepingin gitu, dipeluk-peluk?"

Aku menggeleng. Maaf saja Mas Bagas, walaupun kamu ganteng, detik ini aku cuma pingin lihat wajah menawan oppa-oppa korea. Soalnya sama kamu kan, udah setiap hari.

Tapi aku lupa, jika Mas Bagas adalah cowok paling keras kepala di dunia. Dia justru memasang wajah tepat di depanku.

"Kelana, minggir!"

"Nggak mau," dia mengangkat tangannya dan menopang dagu. Cih, dikira aku luluh gara-gara tampang memelasnya-oke, sedikit. Karena satu diantara banyak kelemahan Sinta adalah sorot mata tajam milik Mas Bagas. "Bilang dong, Sin. Cakepan aku atau opa-opa itu? Memangnya dia umur berapa sih, Sin? Kok kamu panggil dia opa? Jadi, kamu sekarang sukanya memang sama yang opa-opa ya, Sin? Udah nggak doyan cowok singset macam aku?"

Astaga!

"Oppa, Mas Bagas. Dobel 'P'! Mana ada opa yang punya aksi ciuman seseksi dia--"
"Seksian mana?"

Mas Bagas menjauhkan bibirnya, masih menatapku dengan lekat meskipun kini senyum jahil melintas di bibirnya. Sementara aku melipat bibir ke dalam, mengulum sensasi dingin yang selalu terasa menyenangkan.

"Oppa-ku, dong! Kamu harus liat gimana aksinya waktu di drama yang lain--"

Shit.

Aku selalu bisa mengenali rengkuhan jemari panjang dan kuat miliknya di kedua sisi rahangku. Juga, apa yang akan dia lakukan ketika seorang Bagas merasa diremehkan. Dan, well, aku menyukainya. Tepatnya, menyukai Mas Bagas yang mengerahkan seluruh usahanya untuk meyakinkanku jika dia adalah yang terbaik. Seperti ini, misalnya.

"Seksian mana?" Mas Bagas bertanya lagi ketika ia menjauhkan wajahnya meskipun jemarinya masih menyapu ringan pipiku. Mas Bagas menatapku, dengan sorot tajam yang penuh keteduhan di balik manik matanya yang sehitam malam.

"Opp—"

Dan ini dia. Aku terkekeh ketika Mas Bagas merengkuhku untuk ketiga kalinya dengan tidak sabar. Lalu kali ini aku mengalah, lebih tepatnya, terkalahkan. Jemariku berlarian di sela rambutnya, meremas pelan kala Mas Bagas memberikan cumbuan-cumbuan gila yang bisa membuatku mati di tempat. Ck, padahal seharusnya Mas Bagas tahu, kalau tidak ada laki-laki lain bagiku selain dia.

"Sepertinya punyaku tetep jadi yang paling seksi." Mas Bagas tertawa puas setelah melihat wajahku. Sementara aku mendengkus, meskipun tidak pernah menampik kata-katanya. Aku hampir saja membalasnya ketika pintu kamarku terbuka.

"Mbak, ada tamu di luar." Itu Dayu, gadis remaja yang saat ini masih duduk di bangku kuliah.

"Siapa?"

"Mas Angga." Dayu menyipit. "Jangan bilang Mbak nolak Mas Angga."
"Dan kenapa aku harus terima dia?" Aku kembali menatap pada layar laptop di depanku. Sialan, Mas Bagas membuatku lupa adegan terakhir yang aku tonton sebelum dia bertingkah panas seperti tadi.

Aku mendengar hembusan napas cukup keras dari Dayu sebelum dia duduk di sebelahku.

"Kalau Mama dengar, Mbak bisa diruwat. Gila aja, Mas Angga ini calon terkuat setelah Bang Rikas kemarin, lho." Dinda meraih segenggam makaroni pedas dan menunjuk layar dengan kepalan tangannya. "Apa?"

"Fabricated City."

"While you're sleeping."

"Aku nggak suka."

"Mau ikut nonton nggak? Diam dong."

Dinda menyenggol bahuku. "Mbak, gimana sih? Ada Mas Angga di luar. Nggak disapa dulu, gitu?"

"Nggak, ngapain? Ntar dikira aku kasih harapan ke dia."

"Mbak?" panggil Dinda lagi, yang kali ini menoleh ke arahku dengan ekspresi yang tidak mampu kubaca. "Apa...masih kepikiran Mas Bagas?"

"Kenapa memangnya kalau masih kepikiran dia?" balikku enteng, sedikit melirik kesal pada Kelana yang kini duduk di tepi kasurku sembari menopang dagu dan memandang kami dengan penuh minat. Andai saja Dayu tahu betapa genitnya calon kakak iparnya itu, Dayu pasti berhenti merengek pada Tuhan agar diberi jodoh seperti Mas Bagas. Iya, Dayu mengidolakan Mas Bagas sedemikian rupa sampai terkadang aku bingung siapa yang menjadi kakak kandung Dayu.

"Udah dua tahun, Mbak. Mbak juga...harus mulai move on. Mas Bagas pasti nggak mau lihat Mbak gini terus. Umur udah 29 lho, Mbak."
Aku menoleh pada Dinda dengan sedikit kesal.

"Kalau memang aku nggak mau sama Angga, gimana?"

Dinda mendengkus keras. "Aku harap cuma itu alasannya, Mbak. Bukan karena Mbak masih kepikiran Mas Bagas." Ia bangkit. "Harusnya Mbak tahu mana yang perlu diperjuangkan dan mana yang cukup jadi kenangan. Mas Bagas itu masa lalu."

Sejenak, aku melihat tatapan Dayu terjatuh di tangan kiriku, dan wajahnya mengeruh. Aku segera menekuk jari manisku, menyembunyikan cincin pemberian Mas Bagas dari tatapan tidak suka Dayu.

"Mbak Sinta, please?" Samar aku mendengar suaranya yang pecah, namun aku mengabaikannya.

Aku mengawasi Dayu melangkah keluar kamar dengan sedikit menghentak. Ini bukan pertama kalinya kami bertengkar karena masalah calon jodohku. Heran. Yang mau menikah itu aku, mengapa yang ribut orang lain?

Lagipula, mengapa semuanya menyuruhku segera menikah sementara Mas Bagas saja ada di sini? Apa Mama dan Papa lupa jika saat ini, statusku masihlah tunangan seorang laki-laki bernama Candra Bagaskara?

Ringan, Maa Bagas bangkit dan duduk di sampingku seperti tepat sebelum Dayu datang. Aku menyentuh pipinya yang terasa dingin. Dia masih Mas Bagas. Bagas milikku dengan sepasang alis tegas, sorot mata tajam dan meneduhkan di saat yang bersamaan. Tanpa kata, laki-laki itu merengkuhku dalam lengan kuat miliknya.

Aku menelusurkan ujung jemari di sepanjang jambang tipisnya, masih sama seperti dua tahun lalu sejak terakhir aku menyentuhnya tanpa sensasi dingin yang menyertai. Dan lihat, saat ini Bagas-ku tersenyum. Senyum ramah yang selalu menenangkanku. Laki-laki itu menggenggam jemariku yang sibuk menjelajahi wajahnya.

"Aku bisa sentuh kamu begini." Aku balas menggenggam jemarinya. "Aku bisa lihat kamu sejelas aku lihat orang lain. Apa kebersamaan kita itu salah? Kenapa mereka suka sekali maksa aku pergi dari kamu?"

Mas Bagas masih tersenyum. Dibawanya jemariku yang tersemat cincin itu ke bibirnya sebelum mengecupnya lama, dan dia menggeleng.

"Kita saling mencintai. Nggak ada yang aalah dengan itu," ucapnya pasti."Lihat opa lagi?"

Gelak tawa menyenangkan itu terdengar tatkala aku mencubit keras dirinya. Iya, tidak ada yang salah. Jadi jangan pernah bermimpi bisa membuatku pergi meninggalkan Maa Bagas.

IA membaringkan diri dengan kepala berbantalkan pangkuanku, sedang aku meraih kembali semangkuk makaroni pedas. Aku memencet tombol play, dan Mas Bagqs selalu saja punya seribu cara untuk menggangguku dan memenangkan seluruh atensiku.

Ah, apa aku belum bilang? Masa ketika aku berhenti merasa menjadi manusia paling sial di bumi adalah dua tahun lalu, ketika aku melihat Mas Bagas di saat semua orang sibuk berkabung tentang dia. Bahkan setelah semuanya, Mas Bagas membuatku bersyukur atas kemampuan yang tadinya aku benci.

Karena selain makhluk-makhluk mengerikan itu, sekarang aku bisa melihat Mas Bagas.

==THE END KUTUKAN YANG MENYENANGKAN==
Posting Komentar

Posting Komentar