vg3crK7LGtEQzyLFmtXTbFqrmmLNRkWykkeQhD1x
Bookmark

Ikatan Sahabat Yang Putus

Ikatan Sahabat Yang Putus


"Clara, pacarmu ikut main voli nggak?"

Pertanyaan Dewi membuatku mendengus. Hubungan dua tahun kandas karena aku diselingkuhi. Alasannya? Aku terlalu sibuk kuliah, dan jarang memperhatikannya. Cih!

"Clara nggak pantas dapat setan, Wi," sahut Mala.

Aku berterima kasih pada Mala karena sudah mewakilkan jawabanku. Jujur saja, membahas kutu satu itu masih membuat emosi.

Mala membelai pundakku sembari berbincang dengan yang lain. Sahabatku ini memang satu-satunya orang yang tahu kejadian sebenarnya. Kami lebih sering bercerita satu sama lain dibanding kepada orangtua kami yang sibuk. Kami sekolah di sekolah yang sama, hingga pada waktunya aku memilih kuliah dan Mala memilih bekerja di pabrik. Di kampung kami, anak yang berkuliah masih sangat jarang. Kebanyakan dari kami akan bekerja atau menikah setelah lulus SMA. Ketua Karang Taruna kami, Fendi, bahkan sudah punya dua anak. Padahal kami seumuran.

Aku lanjut meronce bendera-bendera kecil. Sebulan lagi HUT NKRI. Mumpung ada waktu di sela skripsi, aku ikut membantu karang taruna desa yang juga teman-temanku.

"Permisi!" Seorang gadis asing mengetuk ruangan dengan canggung.

"Rumi!" Mala menghampiri gadis itu. Agaknya, ia bukan dari kampung ini. "Ayo masuk, Rum! Oh iya, ini Rumi, temanku di pabrik. Mulai hari ini, dia tinggal di rumahku."

"Biar lebih dekat aja," ucap Rumi canggung. "Aku dari Kalimantan, dan aku udah bilang Pak RT, kok. Jadi, boleh gabung?"

Fendi mempersilakan. Mala mengajak Rumi duduk di dekatku dan mengenalkan kami.

"Oh, ini Clara?" ucap Rumi "Mala sering cerita tentang kamu."

"Semoga bukan cerita-cerita buruk. Soalnya aibku banyak," sahutku tertawa.
"Dia muji-muji kamu, kok. Bilang kalau kamu pintar karena berhasil kuliah di UGM," ucapnya ikut tertawa. "Tapi buang-buang waktu nggak sih, kuliah itu? Buat apa pendidikan tinggi kalau ujungnya nanti di dapur dan harus nyenengin suami? Aku sih daripada nambahin beban orangtuaku, langsung kerja aja. Iya kan, La?"

Mala hanya tertawa kaku sambil melirikku. Akhirnya aku ikut tertawa canggung juga. Mala pernah bicara seperti itu juga padaku, tapi tidak aku ambil hati.

"Beasiswa kok. Nggak memberatkan orang tua," ucapku.

"Iya iya. Nggak perlu marah, Clara. Aku cuma bercanda." Rumi menepuk pundakku.

"Iya. Rumi nggak serius waktu ngomong begitu, Ra." Mala berkata gugup.

"Ngomong-ngomong, kamu beneran jalan sama Bayu?"

Pertanyaan Rumi membuatku menoleh. "Siapa Bayu? Nggak niat cerita ke aku nih, La?"

Wajah Mala langsung merah padam. Ia melihat ke anak-anak lain yang masih sibuk, lalu nyengir lebar. "Dia manajer pemasaran di tempat kerjaku. Aku belum sempat cerita sama kamu, Ra. Kamu sibuk skripsi."

Rumi terkikik dan menunjukkan foto seorang lelaki di ponselnya. Tampangnya rupawan. Penampilannya juga rapi dengan kemeja batik dan jam tangan mahal. Dilihat dari wajahnya, dia berusia sekitar tiga puluh tahun.

"Jadi selingkuhan pun aku mau kalau yang ngejar cowok begini. Pak Bayu, lhoh," ucap Rumi antusias.

"Cowok banyak," tukasku langsung. "Mala pantas dapat cowok yang lebih baik daripada jadi selingkuhan."

"Ah kamu ini. Kalau udah jatuh cinta, tai kucing juga rasa matcha," ucap Rumi ringan, sementara Mala tertawa. Aku hanya memutar bola mata dan lanjut bekerja.

Hari-hari berikutnya, kami jarang mengobrol lantaran aku sibuk dengan skripsiku. Kulihat dari whatshapp story, Mala dan Rumi jadi sering bersama. Mala juga akhir-akhir ini jarang membalas pesanku. Jujur saja, aku agak kehilangan. Siapa lagi tempatku berbagi cerita jika bukan Mala. Tapi mungkin, Mala memang sibuk di sana.
Sore hari setelah bimbingan selesai, aku memutuskan refreshing ke daerah Malioboro. Sekadar melepas penat sambil mengambil foto. Aku suka fotografi, ngomong-ngomong. Hingga tanpa sengaja kameraku membidik seseorang yang aku kenal. Dia adalah Pak Bayu, pacar Mala. Tangannya tengah memeluk pinggang seorang wanita muda yang berpakaian seksi.

“Apa mungkin saudaranya?” batinku penasaran. Aku pura-pura menabrak mereka hingga si wanita tadi nyaris jatuh.

"Kalau jalan pakai mata!" Bayu menatapku tajam setelah menolong si wanita.

"Maaf!" Aku mengembalikan paperbag-nya yang terjatuh. "Wah, saya iri sekali. Jarang saya lihat kakak beradik menghabiskan waktu bersama."

"Dia kekasihku," ucap Bayu dingin kala si wanita mendengus tidak suka.

"Ayo jalan lagi, Mas. Lain kali hati-hati," ucapnya sebelum meraih lengan Bayu.

Aku cepat-cepat mengikuti mereka hingga mereka masuk ke mobil. Tak lupa kuambil beberapa foto, lalu mengirimkannya pada Mala.

Clara [Pacarmu selingkuh, La. Putus deh. Dia bukan cowok baik-baik.]
Aku mengetik dengan emosi. Pria berengsek ini sudah mempermainkan sahabatku.

Mala [Kamu lihat di mana, Ra?]

Clara [Malioboro barusan]

Tapi Mala tidak kunjung membalas. Hingga pukul delapan malam, Mala baru membalasnya.

Mala [Katanya itu cuma rekan bisnis, Ra]

Clara [Dia kekasihnya! Aku dengar si Bayu ngomong begitu!]

Mala [Mana buktinya?]
Sialan! Aku tidak sempat merekam pengakuannya! Saat itu, Mala menelfonku.

"Nggak sempat aku rekam, La. Tapi demi Tuhan, dia bilang gitu sama aku tadi!" ucapku berapi-api.

"Clara," Suaranya terputus akibat isakan. Mau tidak mau aku merasa bersalah.

"Tenangkan diri dulu, La. Aku tahu ini berat. Tapi putusin, ya. Kamu berhak dapat lelaki yang lebih baik daripada Bayu," ucapku selembut mungkin.

"Kamu--selama ini apa kamu cemburu sama aku?" bisik Mala menangis.

ku mengerutkan kening. "Apa maksudnya?"

"Kalau Rumi nggak ada di sini, aku pasti kalut banget. Tapi dia bilang kalau aku harus mendengarkan kedua belah pihak," ucapnya parau. "Apa kamu cemburu karena hidupku enak tanpa aku harus kuliah? Kamu mau menghancurkan hubunganku sama Pak Bayu ya, Ra?"

"Astaga! Aku nggak cemburu! Aku cuma--"

"Halah, ngaku aja!" Suara Rumi menggantikan suara Mala. "Kamu cemburu karena Mala bisa dapat calon suami mapan dan kaya tanpa harus susah payah kuliah, kan? Kamu cemburu karena Mala sebentar lagi akan menikah, nggak jadi perawan tua kayak kamu.

Harusnya kamu dukung mereka! Bukan malah memfitnah sampai hubungan mereka keganggu!"
"Rum, kalau ngomong jangan sembarangan, ya! Mana Mala?" sahutku emosi. Di seberang sana, Rumi malah mendengus.

"Ngapain nyari Mala? Mau ngomporin biar putus sama Pak Bayu? Biar kamu ada temannya sampai jadi perawan tua?" cecar Rumi.

"Rum, ini bukan urusanmu!" sahutku gusar. "Mana Mala?"

"Udah pergi sama Pak Bayu. Aku suruh mereka menyelesaikan permasalahan yang kamu buat!" sembur Rumi. "Dasar musuh dalam selimut!"

Rumi mematikan sambungan hingga aku tidak percaya. Kuputuskan untuk menelfon orangtua Mala. Mereka berdua adalah petani. Semoga sore-sore begini mereka sudah pulang.

"Eh Clara, ada apa, Nduk?" sahut Asih, ibu Mala.

"Bulik Asih, Mala udah ngenalin Bulik ke pacarnya, belum?" tanyaku buru-buru.

"Oh, udah. Orangnya sopan dan ganteng, ya. Mala pintar cari calon suami," ucap Asih antusias.

"Bulik, jangan kasih mereka restu! Bayu ini udah punya pacar selain Mala!"

Hening sejenak, lalu telfon diputus. Aku menjambak rambutku dengan frustrasi, tapi aku harus segera menemui dosenku untuk bimbingan online. Nanti, aku akan kembali mengingatkan Mala. Sahabatku terlalu berharga untuk dipermainkan.

Seminggu berlalu sejak kejadian itu. Anehnya, Mala dan ibunya justru memblokir nomorku. Aku tanya ibu dan ayahku, mereka tidak tahu-menahu.

Kesempatanku pulang kugunakan untuk pergi ke rumah Mala. Namun rumah itu kosong. Akhirnya, aku memutuskan pergi ke balai desa untuk kembali membantu karang taruna. Aku pasti bertemu Mala di sana.
Namun kedatanganku disambut sinis oleh teman-temanku hingga aku bingung. Fendi, sang ketua yang biasanya ramah, malah secara halus mengusirku dengan bilang aku terlalu sibuk sehingga tidak perlu datang.

"Ada apa?" tanyaku akhirnya saat Dewi berbisik pada Fendi sambil melirikku. Semua temanku membuang wajah, hanya Dewi yang cukup berani menatapku.

"Kamu tega merusak hubungan Mala sama calon suaminya, Ra. Pakai fitnah mereka segala. Sekarang satu kampung tahu betapa jahatnya kamu!"

"Siapa yang bilang begitu?" tanyaku terkejut.

"Rumi," jawab Dewi. "Mala sama Bulik Asih sampai sakit berhari-hari karena ulahmu. Untung rencana pernikahan mereka nggak tertunda."

"Pernikahan?" sahutku tidak percaya.

"Iya."

Suara Rumi membuatku menoleh. Rumi dan Mala baru saja masuk ruangan. Mala, sahabatku itu sama sekali tidak melihatku.

"Mereka mau lamaran waktu kamu fitnah mereka. Untung Pas Bayu sabar dan berusaha memaafkan," ucap Rumi jumawa. "Kamu itu cuma cemburu karena Mala berhasil dapat calon suami yang mapan dan kaya! Mereka mau menikah, pula!"

Aku kehabisan kata-kata. Kutatap Mala yang duduk sambil meronce bendera.

"Mala," ucapku nyaris menangis. "Aku berani sumpah, kalau Bayu sendiri yang bilang perempuan itu kekasihnya. Kamu tolong jangan nikah sama dia, La."

"Clara, udahlah." Suara Mala bergetar.

Aku berjongkok di depan Mala, memaksanya menatapku. "Mala, kita teman dari kecil. Aku nggak pernah aku bohong sama kamu, La."

Raut wajah Mala berubah sendu. Aku tahu di balik tatapannya, ia pun berusaha berusaha mempercayaiku.
"Cemburu nggak mengenal persahabatan!" sambar Rumi. "Jangan mau percaya!"

"Aku nggak cemburu, astaga!"

"Halah, alasan aja! Kamu nggak pantas jadi sahabat Mala. Minggir!" Rumi mendorongku agar menjauh dari Mala. Lalu ia membelai pundak Mala. "Udah, La. Lupakan aja. Kamu punya aku. Aku akan selalu support kamu sama Pak Bayu. Jangan sedih, ya?"

Mala yang tadi bimbang, kini tampaknya yakin kembali. Ia bergumam tanpa menatapku, “Harusnya kamu dukung aku, Ra. Bukannya berusaha misahin aku sama orang yang aku cinta.”

Aku kehilangan kata-kata. Mala malah menggenggam tangan Rumi, seolah mencari dukungan. Tatapan teman-teman yang lain pun menghakimiku. Akhirnya aku pergi dengan sejuta beban di dada. Aku menyayangi Mala, tapi kalau begini jadinya, aku bisa apa? Memang benar, jatuh cinta membuat tai kucing rasa matcha. Apalagi punya teman seperti Rumi yang berlagak paling tahu segalanya.

Aku jadi jarang pulang. Terakhir kudengar, mereka memang menikah namun Mala tidak mengundangku. Kami tidak pernah berhubungan lagi. Hingga tepat saat aku mendapatkan pekerjaan pertamaku satu tahun kemudian, aku dengar Mala jadi janda.

===END===
Posting Komentar

Posting Komentar